Absurd tapi Seru: Pelukan Yang Tak Pernah Diingat Sejarah

Kisah Hujan di Istana Terlarang

Hujan menggigil di atap Istana Terlarang. Setiap tetesnya adalah bisikan masa lalu, dendam yang belum usai. Di Paviliun Anggrek yang remang-remang, selir Lan menggenggam erat cangkir tehnya. Jari-jarinya yang lentik gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena ingatan yang menghantuinya.

Bayangan panjang menari di dinding, mengikuti gerak lentera yang cahayanya nyaris padam. Sama seperti hatinya. Dulu, hatinya bersinar terang untuk seorang pangeran, pangeran terkasihnya, Yun. Mereka berjanji sehidup semati di bawah pohon persik yang kini hanya tinggal kenangan pahit.

Namun, Yun mengkhianatinya. Demi tahta, ia menikahi putri dari suku barbar yang kejam. Selir Lan dipaksa menjadi selir rendahan, hidup dalam bayang-bayang pengkhianatan. Hujan, yang dulu menjadi saksi bisu cinta mereka, kini hanya menjadi saksi bisu air matanya.

"Selir Lan," suara serak membuyarkan lamunannya. Kasim tua membungkuk hormat. "Pangeran Yun ingin bertemu dengan Anda di Taman Giok."

Jantung Selir Lan berdebar keras. Pertemuan ini... pertanda apa? Ia tahu, jauh di lubuk hatinya, bahwa Yun tidak pernah benar-benar melupakannya. Tatapan mata Yun selalu menyimpan sesuatu saat melihatnya di antara kerumunan. Sesuatu yang lebih dari sekadar penyesalan.

Di Taman Giok, Yun berdiri di bawah payung merah. Wajahnya lebih tua, lebih keras, tetapi matanya... mata itu masih menyimpan bayangan masa lalu.

"Lan," bisiknya. Suaranya nyaris tenggelam dalam deru hujan. "Aku... aku merindukanmu."

Selir Lan menatapnya dengan dingin. "Rindu? Setelah semua yang kau lakukan?" Suaranya tajam seperti pecahan kaca.

Yun mencoba meraih tangannya, tetapi ia menarik diri. "Aku tidak punya pilihan, Lan! Tahta ini... tahta ini membutuhkan pengorbanan!"

"Pengorbanan? Atau keserakahan?" Selir Lan tersenyum sinis. "Kau pikir aku tidak tahu? Kau pikir aku lupa tentang surat yang kau kirimkan pada Putri Barbar itu? Surat yang menjanjikan kekuasaan dan kehormatan jika ia membantumu menyingkirkan sainganmu?"

Wajah Yun memucat. Ia terhuyung mundur. "Darimana... darimana kau tahu?"

Selir Lan mendekat, bibirnya menyunggingkan senyum yang mengerikan. "Aku punya banyak teman di istana ini, Yun. Teman yang melihat, teman yang mendengar, dan teman yang... menunggu."

Cahaya lentera di kejauhan berkedip-kedip, seolah memberi kode. Tiba-tiba, dari balik pepohonan muncul bayangan-bayangan gelap. Pembunuh bayaran.

Yun menatap Selir Lan dengan ngeri. "Kau... kau merencanakan ini?"

Selir Lan tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, senyum kemenangan. Hujan semakin deras, menyamarkan suara jeritan Yun yang terakhir. Bayangan Yun, yang dulu begitu kuat, kini patah dan hancur di bawah kaki Selir Lan.

Ia berbalik, meninggalkan Taman Giok yang basah oleh darah dan air mata. Di tangannya, ia menggenggam sebuah jepit rambut emas, jepit rambut yang dulu Yun berikan padanya.

Ketika Selir Lan tiba di paviliunnya, kasim tua itu sudah menunggu. "Sudah selesai, Yang Mulia?" bisiknya.

Selir Lan mengangguk. "Sudah." Ia berjalan menuju ranjangnya, membaringkan diri, dan menatap langit-langit yang gelap. Hatinya terasa kosong, tetapi ia merasakan... kedamaian.

Lalu, kasim tua itu berbisik, "Yang Mulia, apa yang harus saya lakukan dengan anaknya?"

You Might Also Like: Chapter 3 Unveiling Secrets Image

OldestNewer

Post a Comment