Mentari senja membakar langit Kota Terlarang, mewarnai tembok merah dengan darah yang tak tertumpah. Angin berbisik lirih, membawa aroma bunga plum dan dendam yang mengakar dalam hatiku. Dulu, angin ini hanya membawa tawa kami berdua. Dulu.
Aku, Lian Hua, dan dia, Pangeran Zhan. Dua anak yatim piatu yang tumbuh bersama di balik tembok istana yang megah namun dingin. Kami bukan saudara sedarah, bukan pula teman biasa. Kami adalah dua jiwa yang terikat takdir, atau begitulah yang kukira. Kami berbagi mimpi, berbagi rahasia, berbagi harapan akan masa depan cerah di bawah langit yang sama.
"Lian Hua, jika aku menjadi Kaisar, aku akan menjadikanmu orang yang paling bahagia," bisiknya suatu malam, di bawah rembulan yang mengintip malu dari balik awan. Jari-jarinya yang hangat menggenggam tanganku erat. Sebuah janji. Sebuah KUTUKAN.
Bertahun-tahun berlalu, janji itu tumbuh menjadi ambisi. Zhan belajar memimpin, belajar menipu, belajar mengkhianati. Aku, di sisi lain, belajar menyimpan rasa sakit. Aku melihatnya berubah, sedikit demi sedikit, menjadi sosok yang asing. Matanya yang dulu dipenuhi kehangatan, kini berkilat dengan kalkulasi dan kekejaman.
"Kau tahu, Lian Hua, rahasia adalah senjata yang paling ampuh," ujarnya suatu hari, tersenyum sinis. Kami berdiri di taman istana, di bawah pohon persik yang dulu menjadi saksi bisu janji kami. "Dan kau, sayangku, memegang terlalu banyak rahasia."
Permainan telah dimulai.
SIAPA yang mengkhianati siapa? Itulah pertanyaan yang menghantuiku setiap malam. Apakah Zhan mengkhianati janji masa kecil kami? Atau aku, dengan menyimpan kebenaran tentang asal-usulnya, mengkhianati kepercayaannya?
Kebenaran itu pahit. Zhan bukanlah pangeran berdarah biru. Ia adalah anak haram selir Kaisar yang dibuang. Aku, Lian Hua, tahu itu karena ibuku, mendiang dayang yang melayaninya, menghembuskan rahasia itu di telingaku sebelum meregang nyawa. Aku MELINDUNGINYA.
Dan sekarang, Zhan, sang Kaisar yang berkuasa, mengetahui segalanya. Ia tahu aku tahu. Ia tahu aku berbohong. Ia tahu... dan ia MEMBENCIKU karenanya.
Malam ini, aku berdiri di hadapannya. Pedang perak berkilauan di tanganku. Sorot matanya dingin, tanpa ampun.
"Kau berjanji akan kembali," ujarku, suaraku bergetar. "Tapi aku tahu janji itu hanyalah..."
"Sebuah kutukan?" sahutnya, menyelesaikan kalimatku. Ia tertawa, tawa yang menusuk jantungku seperti belati. "Memang. Dan kau, Lian Hua, akan merasakan akibatnya."
Pedang kami berdenting keras. Pertarungan singkat, mematikan. Aku tahu, ini akhirku. Aku tidak menyesal. Setidaknya, kebenaran akan terungkap. Setidaknya, DIA akan tahu bahwa semua ini kulakukan untuknya.
Aku terjatuh, darah mengalir deras dari lukaku. Zhan berdiri di atasku, pedangnya meneteskan darahku.
"Kenapa, Lian Hua?" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. "Kenapa kau melakukan ini?"
Aku tersenyum, senyum terakhirku. "Karena... karena aku tidak bisa membiarkanmu menjadi monster yang lebih besar dari dirimu sendiri."
Aku menutup mata, merasakan kegelapan merayap.
Aku mencintaimu, Zhan. Dan itu adalah kutukanku.
You Might Also Like: 13 Review Sunscreen Lokal Dengan
Post a Comment