Hujan kota membasahi jendela apartemenku, mirip air mata yang tak pernah benar-benar jatuh. Di layar ponsel, notifikasi LINE berkedip redup. Nama "Alex" terpampang di sana, terakhir aktif setahun lalu. Alex. Sebuah nama yang dulu terasa seperti mantra, kini hanya sisa chat tak terkirim, sebuah echo di ruang hampa.
Kami bertemu di dunia maya, di antara unggahan foto kopi latte dan hashtag #urbanlife. Pertemuan yang diawali like, berlanjut ke obrolan larut malam, dan berujung pada pelukan hangat di tengah hiruk pikuk Shanghai. Pelukan yang mengandung janji, atau mungkin, rencana.
Kenangan itu tajam. Aku ingat aroma parfumnya yang maskulin, campuran oud dan tembakau. Aku ingat tawanya yang renyah, mampu mengalahkan bisingnya jalanan. Aku ingat matanya, seolah menyimpan seluruh galaksi di dalamnya.
Tapi kemudian, semuanya menghilang. Tanpa penjelasan, tanpa kata perpisahan. Hanya notifikasi "pengguna telah memblokir Anda" dan kesunyian yang menyesakkan.
Aku mencoba mencari tahu. Aku menyelami stalk akun media sosialnya, mencari secercah petunjuk. Yang kutemukan hanyalah foto-foto perjalanan, senyum palsu, dan nama seorang wanita lain. Wanita yang lebih kaya, lebih berpengaruh, dan mungkin… lebih sesuai dengan rencana Alex.
Perasaan kehilangan ini samar. Bukan hanya kehilangan seorang kekasih, tapi kehilangan kepercayaan, kehilangan ilusi tentang cinta sejati. Rasanya seperti kehilangan diri sendiri.
Setahun berlalu. Aku bangkit, perlahan. Aku membangun kembali hidupku, satu tegukan kopi, satu halaman buku, satu langkah di jalanan kota. Aku belajar menertawakan kenangan, dan menerima bahwa beberapa rahasia memang lebih baik dibiarkan tersembunyi.
Namun, semalam, notifikasi itu muncul lagi. Nama "Alex" kembali menghantui layar ponselku. Sebuah pesan singkat: "Aku minta maaf."
Hatiku berdebar. Amarah, kebingungan, dan dendam bercampur aduk menjadi satu. Aku mengetik balasan. Bukan makian, bukan ratapan. Hanya sebuah kalimat sederhana:
"Kau tidak perlu minta maaf."
Aku memblokirnya lagi. Kali ini, aku tersenyum. Senyum pahit, senyum kemenangan, senyum balas dendam lembut. Aku mengirim email ke perusahaan tempat dia bekerja, melampirkan beberapa dokumen yang aku temukan tentang praktik bisnisnya yang kurang etis. Dokumen yang bisa membongkar rencana besarnya.
Keputusan ini menutup segalanya, tanpa kata. Tanpa drama. Hanya keheningan.
Hujan masih turun. Aroma kopi menyebar di seluruh ruangan. Aku menutup mata.
Dan aku tahu, aku sudah memaafkannya… tapi aku tak akan pernah melupakannya.
You Might Also Like: 137 Who Invented Days Of Week Discover
Post a Comment