Hujan Jakarta membasahi jendela kamar apartemenku, sama derasnya dengan air mata yang tak pernah benar-benar kering. Setiap tetesnya adalah echo dari notifikasi yang dulu kurindukan, nama dia yang selalu muncul di layar ponselku. Sekarang, hanya ada keheningan. Keheningan yang berteriak.
Di dalam cangkir kopi yang mulai dingin, aku melihat pantulan wajahku. Pucat, lelah, dan dikelilingi bayang-bayang mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan. Mimpi tentang kita.
Dulu, semua berawal dari salah kirim chat. Sebuah emoji hati yang seharusnya untuk orang lain, mendarat di kotak masukku. Lucu, bukan? Dari sana, obrolan mengalir seperti sungai. Tentang buku, film, musik, dan harapan-harapan kecil yang kami bagi. Tentang aroma kopi yang sama-sama kami sukai, dan hujan yang kami nikmati dari balkon masing-masing.
Lalu, pertemuan pertama. Di sebuah kafe kecil di Kemang. Tatapannya hangat, senyumnya menenangkan. Dan ada sesuatu di matanya… sesuatu yang aku pikir, cinta.
Tapi ternyata, aku salah.
Cinta itu memang ada. Tapi bukan untukku. Aku hanya persinggahan, interlude di antara bab-bab penting kehidupannya. Aku tahu, seharusnya aku berhenti. Tapi, aku terlalu terperosok dalam ilusi. Aku terlalu menikmati rasa nyaman yang sementara.
Aku menatap luka di dada. Luka yang ia torehkan tanpa kata. Luka yang kurawat dengan harapan palsu. Aku masih berharap, bodohnya, bahwa luka ini adalah tanda cinta. Sebuah bukti bahwa aku pernah berarti.
Misteri tentang dirinya masih menyelubungi hatiku. Kenapa ia memilih pergi? Kenapa ia membiarkanku menggantung dalam ketidakpastian? Apa rahasia yang ia sembunyikan di balik senyumnya?
Kemudian, aku menemukan itu.
Sebuah foto di ponselnya. Foto dirinya dengan seorang wanita. Mereka berpelukan, tertawa, dan jelas… saling mencintai. Wanita itu… tunangannya.
Duniaku runtuh. Seketika. Semua penjelasan yang selama ini kucari, terjawab dengan satu jepretan gambar. KEJAM.
Malam ini, aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Bukan dengan tangisan, bukan dengan amarah. Tapi dengan balas dendam lembut.
Aku membuka aplikasi pesan. Menulis sebuah kalimat. Menarik napas dalam-dalam. Dan mengirimkannya.
"Terima kasih untuk semua kenangan. Aku harap kamu bahagia."
Lalu, aku menghapus semua percakapan kita. Menghapus semua fotonya. Menghapus semua jejaknya dari hidupku.
Aku berdiri di balkon, menghirup udara malam Jakarta yang dingin. Hujan sudah reda. Bintang-bintang mulai bermunculan.
Aku tersenyum. Bukan senyum yang tulus. Tapi senyum yang membalas. Senyum yang mengatakan, "Aku akan baik-baik saja. Bahkan, mungkin lebih baik."
Dan kemudian, aku memblokir nomornya.
Dan aku tahu, ia akan menyesal.
...Keheningan itu memekakkan.
You Might Also Like: Dracin Seru Mahkota Yang Disembunyikan
Post a Comment